Rabu, 11 Juni 2014

Fraktur Femur



1.1              Konsep Dasar
1.1.1        Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Marylin E. Doengoes. 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 2005:543).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu :
1.         Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul       dan kapsula.
a.    Melalui kepala femur (capital fraktur).
b.    Hanya di bawah kepala femur.
c.    Melalui leher dari femur.
2.         Fraktur Ekstrakapsuler;
a.    Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b.    Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.

1.1.2        Penyebab
Menurut Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.      Cedera traumatik
a.       Cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara spontan.
b.      Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan, misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c.       Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2.      Fraktur patologik
Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh melelehnya struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat disebabkan oleh kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kaslsium, fosfor, ferum. Factor lain yang menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses penyembuhan yang lambat pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat keganasan. Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada keadaan :
a.       Tumor tulang (jinak atau ganas).
b.      Infeksi seperti osteomielitis.
c.       Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3.      Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

1.1.3        Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada klien dengan fraktur, diantaranya:
a.    Nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan.
b.    Hilangnya fungsi pada daerah fraktur.
c.    Edema/bengkak dan perubahan warna local pada kulit akibat trauma yang mengikuti fraktur.
d.   Deformitas/kelainan bentuk.
e.    Rigiditas tulang/ kekakuan
f.     Krepitasi saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang akibat gesekan fragmen satu dengan yang lain.
g.    Syok yang disebabkan luka dan kehilangan darah dalam jumlah banyak.
Menurut Smeltzer & Bare (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
a.         Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.         Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c.         Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang, yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d.        Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. ( uji kripitasi dapat membuat kerusakan jaringan lunak lebih berat).
e.         Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah bebebrapa jam atau hari setelah cedera.
Menurut Mansjoer,dkk, (2000), daerah paha yang patah tulangnya sangat membengkak, ditemukan tanda  functio laesa, nyeri tekan dan nyeri gerak. Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau angulasi ke anterior. Ditemukan adanya perpendekan tungkai bawah. Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat pemeriksaan harus diperhatikan pula kemungkinan adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya ligamentum didaerah lutut. Selain itu periksa juga nervus siatika dan arteri dorsalis pedis.

1.1.4        Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al, 1993).
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat merobek periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan, mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :
1.    Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2.    Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

1.1.5        Komplikasi
Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan antara lain :
1.         Komplikasi Awal
a.    Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.    Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.    Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.   Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.    Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.         Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.    Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b.    Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.    Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

1.1.6        Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a.       Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.      Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.       Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.      Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e.       Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.       Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang   bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

1.1.7        Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1.      Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1)        Pembersihan luka
2)        Exici
3)        Hecting situasi
4)        Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
1.      Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
2.      Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
3.      Pemberian antibiotika.
4.      Debridement dan irigasi sempurna.
5.      Stabilisasi.
6.      Penutup luka.
7.      Rehabilitasi.
8.      Life Saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation.
9.       Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
10.  Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
11.  Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
12.  Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.    (Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 133)

2.      Seluruh Fraktur
1)        Rekognisis/Pengenalan
          Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2)        Reduksi/Manipulasi/Reposisi
          Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran­nya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
          Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaring­an lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
          Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk  menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
          Reduksi tertutup.  Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
          Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinarx harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
          Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapat­kan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinarx digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinarx. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobili­sasi.
          Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3)        OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
4)        ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin.
5)        Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. ­Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalut­an, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6)        Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan keti­daknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup seharihari diusahakan untuk memperbaiki ke­mandirian fungsi dan hargadiri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

1.1.8        Klasifikasi
1.      Berdasarkan sifat fraktur
a.       Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar. Tidak menyebabkan robeknya kulit.
b.      Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar. Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan kaki. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
1)      Derajat I
a.       Luka < 1 cm
b.      Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
c.       Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringa.
d.      Kontaminasi minimal
2)      Derajat II
a.       laserasi > 1 cm
b.      Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c.       Fraktur kominutif sedang
d.      Kontaminasi sedang
3)      Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot. dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat tiga terbagi atas :
a.         Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran  luka.
b.        Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi massif. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
2.      Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur
a.       Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser dari posisi normal)
b.      Fraktur inkomplit
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
Misal : Hair line fraktur,  Green stick(fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang    sisi yang lain membengkok)
3.      Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
a.    Fraktur transversal
Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b.    Fraktur oblik
Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari   trauma langsung
c.    Fraktur spiral
Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d.   Fraktur kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
4.      Istilah lain
a.    Fraktur komunitif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
b.    Fraktur depresi
Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
c.    Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor, metastasis  tulang).
d.   Fraktur avulse
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
e.    Fraktur Greensick
Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.
f.     Fraktur Epfiseal
Fraktur melalui epifisis
g.    Fraktur Impaksi
Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

Kondisi Patologis
 
Trauma Tidak Langsung
 
Trauma Langsung
 
PATHWAY FRAKTUR
 









Bergabung dengan trombosit
 
Deformitas
 
Tek kapiler
 
Putus vena/arteri
 
                                             



















 








PathwayFraktur Femur Terbuka
Trauma langsung pada paha
 
                                                                                                                                                                                          
 




















2.1              Manajemen Keperawatan
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien, merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy, 1995 : 2-3). Adapun tahapan dalam proses keperawatan antara lain :

2.1.1        Pengkajian
Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Adapun pengkajian pada pasien post operasi menurut Suratun (2008:66) adalah :
1.         Lanjutkan perawatan pra operatif
2.         Kaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan kebutuhan rasa nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri
3.         Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan pembedahan: tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara nafas, bising usus, keseimbangan cairan, dan nyeri.
4.         Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun, konfusi dan gelisah).
5.         Kaji peningkatan komplikasi paru dan jantung: observasi perubahan frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya.
6.         Sistem perkemihan: pantau pengeluaran urin, apakah terjadi retensi urin. Retensi dapat disebabkan oleh posisi berkemih tidak alamiah, pembesaran prostat, dan adanya infeksi saluran kemih.
7.         Observasi tanda infeksi ( infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya timbul selama minggu kedua), dan tanda vital.
8.         Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis.
9.         Kaji komplikasi embolik lemak: perubahan pola panas, tingkah laku dan perubahan kesadaran.
Sedangkan menurut Doenges (2000:761), data dasar pengkajian pada pasien dengan post op fraktur femur berhubungan dengan intervensi bedah umum yang mengacu pada pengkajian fraktur, yaitu:
1.         Aktivitas/istirahat:keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena.
2.         Sirkulasi: hipertensi, hipotensi, takikardia, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang tekena, pembengkakan jaringan.
3.         Neurosensori: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas, deformitas local.
4.         Nyeri/kenyamanan: nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera, spasme/keram otot.
5.         Keamanan: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan local.

2.1.2        Diagnosa Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:189), diagnosa keperawatan merupakan langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun potensial. Adapun diagnosa keperawatan pada kasus post op fraktur menurut Suratun (2008:67) adalah :
1.         Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan imobilisasi.
2.         Potensi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, dan ganguan peredaran darah.
3.         Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
4.         Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, serta adanya imobilisasi, bidai, traksi, gips.
5.         Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak muskuloskeletal.
6.         Resiko tinggi syok hipovolemik.
7.         Resiko tinggi infeksi
Sedangkan menurut Wilkinson dalam jitowiyono (2010:24), Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur meliputi:
1.         Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2.         Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi.
3.         Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi, dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, tyerdapat jaringan nekrotik.
4.         Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5.         Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6.         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

2.1.3        Intervensi Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:203), perencanaan adalah fase proses keperawatan yang sistematik mencakup pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Adapun perencanaan keperawatan pada klien dengan post op fraktur femur menurut Suratun dkk, (2008:66) adalah :
1.         Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan imobilisasi.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
-       Nyeri berkurang/hilang
-       Klien tampak tenang
Intervensi :
a.         Kaji tingkat nyeri pasien.
b.        Tinggikan ekstremitas yang dioperasi.
c.         Kompres dingin bila perlu.
d.        Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
e.         Kolaborasi dalam pemberian obat analgesic.
Rasional :
a.         Mengetahui skala nyeri pada pasien.
b.        Membantu mengontrol edema agar nyeri berkurang.
c.         Untuk mengontrol nyeri dan edema.
d.        Hal ini dapat mengurangi dan mengontrol nyeri.
e.         Untuk mengontrol nyeri.
2.         Perubahan perfusi jaringan  perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
Tujuan : Memelihara perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil :Tidak ada sianosis
Intervensi :
a.    Rencana pra operatif dilanjutkan.
b.    Pantau status neurovaskular, warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri, edema.
c.    Anjurkan latihan otot.
d.   Anjurkan latihan pergelangan kaki dan otot betis setiap jam.
Rasional :
a.    Meneruskan tindakan keperawatan.
b.    parastesi pada bagian yang dioperasi, dan laporkan segera pada dokter bila ada temuan yang mengarah pada gangguan.
c.    untuk mencegah atrofi otot.
d.   untuk memperbaiki peredaran darah.
3.         Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
Tujuan : Memelihara kesehatan
Kriteria Hasil: Klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
a.    Rencana pra operatif dilanjutkan.
b.    Anjurkan pasien berpartisipasi dalam program penanganan pasca operatif.
c.    Diet seimbang dengan protein dan vitamin adekuat sangat diperlukan.
d.   Anjurkan banyak minum minimal 2 sampai 3 liter perhari.
e.    Observasi adanya  gangguan integritas kulit pada daerah yang tertekan.
f.     Ubah posisi tidur dalam setiap 2-3 jam sekali.
g.    Bantu klien dalam pelaksanaan hyegien personal.
h.    Libatkan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan.
Rasional :
a.    Melanjutkan tindakan keperawatan.
b.    Membantu dalam proses keperawatan.
c.    Untuk keshatan jaringan dan penyembuhan luka.
d.   Memenuhi kebutuhan cairan.
e.    Untuk mengetahui sedini mungkin adanya gangguan.
f.     Untuk mencegah adanya penekanan pada kulit.
g.    Untuk menghindari adanya kerusakan pada kulit.
h.    Membantu dalam pemeliharaan kesehatan pasien.
4.         Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya imobilisasi, (bidai, gips, traksi).
Tujuan : Memperbaiki mobilitas fisik normal
Kriteria Hasil: Melakukan pergerakan dan pemindahan
Intervensi :
a.    Kaji tingkat kemampuan mobilitas fisik.
b.    Bantu pasien melakukan aktivitas selama pasien mengalami ketidaknyamanan.
c.    Tinggikan ektremitas yang bengkakanjurka latihan ROM sesuai kemampuan.
d.   Anjurkan pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
e.    Pantau daerah yang terpasang pen, skrup batang dan logam yang digunakan sebagai fiksasi interna.
f.     Anjurkan menggunakan alat bantu saat sedang pasca operasi, sebagai tongkat.
g.    Pantau cara berjalan pasien. Perhatikan apakah benar-benar aman.
Rasional :
a.    Mengetahui tingkat kemampuan mobilitas klien.
b.    Menambah kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
c.    Untuk memperlancar peredaran darah sehingga mengurangi pembengkakan.
d.   Untuk mencegah kekakuan sendi.
e.    Untuk memperbaiki tingkat mobilitas fisik.
f.     Ini dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang sampai terjadi penulangan, tetapi tidak dirancang untuk mempertahankan berat badan.
g.    Untuk mengurangi stres yang berlebihan pada tulang.
5.         Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak masalah musculoskeletal.
Tujuan : Terjadi peningkatan konsep diri
Kriteria Hasil: Klien dapat bersosialisasi
Intervensi :
a.    Rencana perawatan pra operatif dilanjutkan.
b.    Libatkan pasien dalam menyusun rencana kegiatan yang dilakukan.
c.    Bantu pasien menerima citra dirinya serta beri dukungan, baik dari perawat, keluarga maupun teman dekat.

Rasional :
a.    Melanjutkan rencana tindakan keperawatan.
b.    Mempercepat rencana tindakan keperawatan.
c.    Stres,dan menarik diri akan mengurangi motivasi untuk proses penyembuhan.
6.         Resiko tinggi komplikasi (syok hipovolemik)
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria Hasil : Klien tampak tenang
Intervensi :
a.    Pantau dan catat kehilangan darah pada pasien ( jumlah,warna).
b.    Pantau adanya peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan darah.
c.    Pantau jumlah urin.
d.   Pantau terjadinya gelisah, penurunan kesadaran dan haus.
e.    Pantau pemeriksaan laboratorium, terutama penutunan HB dan HT. Segera lapor ke ahli bedah ortopedi untuk penanganan selanjutnya.
Rasional :
a.    Memantau jumlah kehilangan cairan.
b.    Ini merupakan tanda awal syok.
c.    Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu merupakan tanda syok.
d.   Rasa haus merupakan tanda awal syok.
e.    Mengetahui terjadinya hemokosentrasi dan terjadinya syok hipovolemik.
7.         Resiko tinggi infeksi
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
Intervensi :
a.    Pemberian antibiotik intra vena jangka panjang.
b.    Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic.
c.    Ganti balutan luka dengan teknik aseptik, sesuai dengan program.
d.   Pantau tanda vital.
e.    Pantau luka operasi dan catat cairan yang keluar.
f.     Pantau adanya infeksi saluran kemih.
Rasional :
a.    Untuk mencegah osteomielitis.
b.    Menilai adanya alegi dengan pemberian antibiotic.
c.    Mencegah kontaminasi dan infeksi nasokomial.
d.   Peningkatan suhu tubuh diatas normal menunjukan adanya tanda infeksi.
e.    Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukan adanya infeksi pada luka.
f.     Laporkan ke dokter bila ada infeksi yang ditemukan, hal ini sering terjadi setelah pembedahan ortopedik.

Perencanaan keperawatan menurut wilkinson dalam jitowiyono (2010:25) pada klien dengan post op fraktur femur meliputi :
1.    Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
Kriteria Hasil:
1.   Nyeri berkurang atau hilang
2.   Klien tampak tenang
Intervensi :
a.    Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
b.    Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
c.    Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
d.   Observasi tanda-tanda vital.
e.    Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian analgesic.
Rasional :
a.    Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
b.    Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukan nyeri.
c.    Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d.   Untuk mengetahui perkembangan klien.
e.    Merupakan tindakan dependent perawat. Dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2.    Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria Hasil :
a.    Prilaku merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri
b.    Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu
c.    Koordinasi otot,tulang dan anggota gerak lainya baik
Intervensi:
a.    Rencanakan periode istirahat yang cukup.
b.    Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
c.    Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
d.   Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien.
Rasional :
a.    Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b.    Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secar perlahan dapat menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mbilisasi dini.
c.    Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d.   Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
3.    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi, dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria Hasil :
1.    Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
2.    Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3.    Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi
Intervensi :
a.    Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
b.    Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
c.    Pantau peningkatan suhu tubuh.
d.   Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kassa kering dan steril, gunakan plester kertas.
e.    Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
f.     Setelah debridement, ganti baluta sesuai kebutuhan.
g.    Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional :
a.    Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam meltindakan yang tepat.
b.    Mengidentifikasi tingkat keparahan akan mempermudah intervensi
c.    Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai adanya proses peradangan.
d.   Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e.    Agar benda asing atau jaringan yang teriinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainya.
f.     Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung pada kondisi parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g.    Antibiotik berguna untuk memetikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang terjadi infeksi.
4.    Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
Kriteria Hasil :
1.    Penampilan yang seimbang
2.    Melakukan pergerakan dan pemindahan
3.    Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan darinorang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan tidak berpartisipasi dalam aktivitas
Intervensi :
a.    Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
b.    Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
c.    Ajarkan dan pantau dalam hal pengguanaan alat bantu.
d.   Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
e.    Kolaborasi dalam hal ahli terapi fisik.
Rasional :
a.    Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b.    Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c.    Menilai batasan kemempuan aktivitas optimal.
d.   Mempertahankan/keningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e.    Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/ meningkatkan mobilitas pasien.
5.    Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : Infeksi tidak terjaadi/ terkontrol
Kriteria Hasil :
1.    Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2.    Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3.    Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
a.    Pantau tanda-tanda vital.
b.    Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic.
c.    Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
d.   Jika ditemukan tanda-tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
e.    Kolaborasi untuk pemberian antibiotic.
Rasional :
a.    Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b.    Mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
c.    Untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial.
d.   Panurunan Hb dan peningkatan leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e.    Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen.
6.        Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
1.    Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
2.    Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan kut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi :
a.    Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b.    Berika penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
c.    Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makananya
d.   Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang dilakukan.
Rasional :
a.    Mengetahui seberapa jauh penglaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b.    Dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi cemas.
c.    Diet dan pola  makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d.   Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

2.1.4        Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001:63).
Pelaksanaan tindakan kepewaratan pada klien fraktur femur dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang letah ditentukan, dengan tujuan unutk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Pelaksanaan adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan :
1)        Mengkaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri.
2)        Membantu dalam rentang gerak klien pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
3)        Memperhatikan dan mengkaji peningkatan nyeri, adanya edema.
4)        Memberikan dorongan bantuan pada aktivitas kehidupan sehari-hari sesuai kebutuhan.
5)        Mengkaji kulit pada daerah luka, kemerahan dan perubahan warna.
6)        Mengobservasi dan mencatat masukan makanan klien.
7)        Mengkaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.


2.1.5        Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah intelektual untuk melengkapi proses asuhan keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya yang berhasil dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir asuhan keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap asuhan keperawatan (Nursalam, 2001:71).
Setelah data dikumpulkan tentang status keadaan klien maka perawat memebandingkan data dengan outcomes. Tahap selanjutnya adalah membuat keputusan tentang pencapaian klien outcomes, ada 3 kemungkinan keputusan tahap ini :
1)        Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan.
2)        Klien masih dalam catatan hasil yang ditentukan.
3)        Klien tidak dapat mencapai hasil yang ditentukan (Nursalam, 2001:73)